Wednesday, March 21, 2012

(3) Pendapat gue terhadap keseimbangan batin

Well, for me, pada prakteknya, keseimbangan batin sebenernya membuat kita tetep pada batas ambang kewarasan. Bukannya berarti menjadi seperti manusia yang tidak mempunya perasaan (saking seimbangnya) - ya, gw pernah melihat yg seperti itu - dan itu menyebalkan juga!

Ada saatnya kita bisa tertawa terbahak2 menikmati kehidupan, tapi mesti diingat.. jangan sampai menangis dan putus asa berkepanjangan apabila diterjang permasalahan.

Ada saatnya kita menikmati indahnya percintaan, rasa sayang, rasa saling memiliki satu sama lain, tapi tetap diingat.. bahwa tiada hal yg kekal didunia, sehingga pada saatnya ketidak kekalan itu menghinggapi kebahagiaan, nikmat dan indahnya percintaan itu; kita tetap dibuat tersadar sehingga kita tetap kuat menjalani kelanjutan hidup ini

Ada saatnya kita bisa merasa letih dan lelah terhadap kehidupan ini, dan saat itulah keseimbangan batin akan menjadi "margin call" kita, bahwa semua itu harus tetap disadari sebagai bagian proses kehidupan.



Saturday, March 03, 2012

(2) Silahkan pilih : menjadi stress atau menertawai dengan geli


Masih di buku yang sama, Buddhism for Mother, yang mau gue share kali ini adalah penggalan cerita berikut.

A sense of the absurd and humorous
 
Once you have developed a degree of equanimity and spaciousness, you may find yourself laughing at incidents that used to enrage you.  A quick poo story (mothers are used to these).
One rainy Sunday when my first son was two, my husband was playing sport in a hall at the University of Sydney. Longing to read the newspaper in peace, I was driving my son Zac around the university buildings, hoping he’d fall asleep. After 15 minutes he was still awake and I watched my frustration rise. To calm myself, I was trying to focus on my breath and the sensations in my body, when Zac announced, ‘I want to do poo.’

I had no idea where a toilet might be and it would have been danger-ous to waste time looking. Parking under a ‘No Stopping’ sign, we clambered into the rain and Zac did his deed. While pulling his pants up I dropped my set of six keys directly into his poo. They sank in perfectly.  Running to the car—to find I had no tissues—I saw a parking policeman in the distance, slowly making his way towards me. I had no hoice but to hurriedly clean my keys with wet leaves as my son repeatedly asked: ‘Mummy why did you drop the keys in the poo?’
The interesting thing about this debacle was that as I was cleaning the keys I was smiling. My situation was so pathetic that it amused me. My husband was enjoying himself in a warm, dry hall while I stood wet, my fingers covered in poo, with no hope of reading the paper. As mothers we all have similar stories of mini-disasters that have no lasting consequences but can push you to the brink if you let them. You can either work yourself into a frenzy of stress or you can laugh. The mind of equanimity helps us to laugh, to keep such events in perspective so we avoid becoming too emotionally caught up.

 >>>>

Rasa geli dan humor

Setelah Anda sekiranya memiliki keseimbangan batin dan keterbukaan hati, Anda mungkin akan menertawakan peristiwa-peristiwa yang dulunya membuat Anda marah. 

Sebuah cerita singkat tentang kotoran (para ibu sudah terbiasa dengan ini).
Disuatu hari Minggu yang hujan ketika putra pertama saya berumur dua tahun, suami saya sedang berolahraga di lapangan Universitas Sydney. Dengan keinginan untuk bisa membaca korang dengan tenang, saya mengajak putraku Zac mengitari gedung-gedung universitas dengan mobil, berharap ia kan tertidur. Namun setelah 15 menit ia tetap terjaga dan saya melihat rasa frustasi saya timbul. Untuk menenangkan diri pada saat Zac berkata, "Aku mau buang air besar," saya berusaha memusatkan perhatian pada pernafasan dan sensasi dalam tubuh.

Saya tidak tahu dimana toilet berada dan sepertinya akan membahayakan untuk menghabiskan waktu mencarinya. Setelah memarkir mobil di bawah rambu "Dilarang Berhenti", kami menerjang hujan dan akhirnya Zac dapat melepaskan hajatnya. Ketika saya memakaikan celananya, saya menjatuhkan satu set kunci yang terdiri dari enam kunci saya tepat ke dalam kotorannya. Kuncinya tenggelam dengan begitu sempurnanya. Saya berlari ke mobil - saya tidak menemukan tissue - di kejauhan saya melihat seorang polisi petugas parkir dengan perlahan berjalan ke arah saya. Saya tidak ada pilihan lain selain segera membersihkan kunci tersebut dengan lembaran daun basah, sambil putra saya bertanya berulang kali, "Ibu, Kenapa ibu menjatuhkan kunci ke dalam kotoran?"
Satu hal yang menarik dari malapetaka ini adalah di saat saya membersihkan kunci-kunci itu, saya tersenyum. Keadaanku begitu menyedihkan hingga membuatku merasa geli. Suamiku sedang menikmati aktivitasnya di lapangan yang hangat dan kering, sedangkan saya berdiri dengan basah kuyup, jari tangan berlumurkan kotoran, tanpa adanya harapan untuk membaca koran. Sebagai ibu, kita semua memiliki kisah serupa tentang bencana-bencana kecil yang sebenarnya tidak memiliki konsekuensi yang berlanjut, tapi dapat mendorong Anda sampai ke batas diri jika Anda mengizinkannya. Anda bisa melibatkan diri Anda ke dalam pergolakan stress, atau Anda bisa tertawa. Keseimbanganan batin membantu kita untuk tertawa, mempertahankan segala kejadian seperti itu dalam pandangan yang benar, sehingga kita tidak menjadi terlalu terjebak secara emosional.

***

Next : (3) Pendapat gue terhadap keseimbangan batin   

(1) Setiap tindakan mengkondisikan yang berikutnya

Minggu2 ini gue menjadi senang membaca, sebenernya ini hobi lama.. tapi sejak sibuk punya job side yg harus dikerjakan tiap malam, hobi gw itu menjadi turun prioritasnya di peringkat bawah. Saking bawahnya, tumpukan buku yang udah dikasih nyokap gue, gak sempet tersentuh-sentuh hihihi. Untungnya karena belakangan ini load jobside sudah menurun, daripada the time killing me, soo i better kill the time. Cieee ... !!

Setelah gue dibuat terinspirasi dan kagum setelah membaca biografi seorang Bhikkhu Jayamedho, kali ini buku yang sedang diusahakan utk dibaca habis adalah terjemahan Buddhism for Mother. Semoga bisa dibaca habis tanpa terselang buku lain, hahaha. Seperti yang terjadi pada buku Crucial Confrontation, udah terselang 2 buku. hihihi..

Baru 1/4 bagian gue baca dari buku Buddhism for Mother ini, dan sudah ada 2 cerita yg membuat gue terinspirasi. Penggalannya akan gw share disini.

All phenomena are interdependent

Your mother was always helping her friends. You see a mother in need, remember your own mother’s example and help your friend. It was easy enough to do and made you feel good so you help your friend again. Soon you start helping more friends and before you know it you have the character of a helpful person with a helpful person’s destiny ahead of you.

A relation makes a derogatory comment about your children. You feel overwhelmed by the injustice, the hypocrisy, of such a remark. Rather than let the unthoughtful comment pass, you bristle and rush to your children’s defense, creating tension between you and your relation. This happens again the next time you meet and your anger snowballs. Over time you become caught in the habit of reacting to someone whose comments are not worthy of a response and each time you do this your character hardens a little more into one that is ‘defensive’ and ‘easily offended’. This subtly affects the way people see you and treat you, as well as your own chances of finding calmness and happiness.

In both these examples, you have an experience which leads to a thought or feeling which you eventually act on. You repeat the action and establish a pattern which soon becomes a habit. Our habits form our character and our character determines our destiny
>>>>

Semua fenomena saling bergantungan

Ibu anda selalu menolong teman-temannya. Anda melihat seorang ibu yang membutuhkan pertolongan, Anda lalu teringat contoh dari ibu Anda sendiri, dan bantulah ibu tersebut. Itu adalah perbuatan yang mudah dan membuat Anda merasa lebih baik, jadi Anda menolong teman Anda lagi. Tak lama kemudia, Anda mulai menolong lebih banyak teman lagi, dan sebelum Anda menyadarinya, Anda telah mempunya karakter orang yang suka menolong, dengan masa depan dari seorang penolong di hadapan Anda.
Seorang saudara membuat komentar yang menghina tentang anak-anak Anda. Anda merasa diliputi ketidakadilan, kemunakfikan dari komentar tersebut. Daripada membiarkan komentar yang tidak berpengertian tersebut berlalu, Anda marah dan membela anak Anda, menciptakan ketegangan antara Anda dan saudara Anda. Hal ini terjadi lagi ketika Anda kembali bertemu dengannya, Anda menjadi terbiasa untuk memberikan reaksi terhadap orang-orang yang komentarnya tidak layak untuk ditanggapi dan tiap kali Anda melakukan ini, kepribadian Anda sedikit lebih mengeras menjadi yang "penuh perlawanan" dan "mudah tersinggung". Hal ini secara perlahan akan mempengaruhi cara orang-orang memandang dan memperlakukan anda, dan mempengaruhi kesempatan Anda sendiri dalam menemukan ketenangan dan kebahagiaan.

Dalam kedua contoh tersebut, Anda mempunya pengalaman yang mengarah ke pemikiran atau perasaan yang mana akhirnya Anda bereaksi terhadapnya. Anda mengulangi perbuatan tersebut, membangun suatu pola yang segera akan menjadi suatu kebiasaan. Kebiasaan kita membentuk karakter, dan karakter menentukan masa depan kita.

Pikiran terbentuk menjadi perkataan,
Perkataan menjadi perbuatan;
Perbuatan berkembang menjadi kebiasaan;
Dan kebiasaan membentuk karakter.
Maka, perhatikanlah pikiran serta jalannya pikiran dengan penuh perhatian,
Dan biarkanlah pikiran berkembang dari cinta kasih.
Lahir atas dasar keprihatinan terhadap semua mahluk.


 ***